Sekapur Sirih

Banyak sekali keburukan-keburukan kita sebagai suatu bangsa yang berdaulat. Setelah sekian lama kita merdeka, namun rasanya kita malah terbelenggu oleh penjajahan-penjahan yang JUSTRU bersifat internal.

Kenapa jakarta terjadi banjir? Kenapa sampah menggunung? Kenapa sungai kita kotor? Kenapa masih saja pejabat kita korupsi? Kenapa orang kita terlihat seperti orang yang kurang beradab dan kurang disiplin? Kenapa?

Mengapa kesalahan-kesalahan tersebut tetap lestari dan bahkan cenderung terlihat dilestarikan? Kita sebagai generasi penerus bangsa, sudah seharusnya meluangkan waktu sejenak untuk memikirkan mengapa. Sudah sedemikian egois-nya kah Masyarakat kita? Mengapa bangsa ini banyak sekali skandalnya? Apakah bangsa kita terlalu banyak berpolitik? Sudah saatnya untuk kita mengembalikan nilai-nilai luhur kita sebagai manusia yang berbangsa dan bernegara.

Teman-teman mari kita satukan hati dan pikiran kita untuk mewujudkan bangsa Indonesia yang lebih baik lagi di masa yang akan datang.

Tuesday, June 17, 2008

Bicara.

Diam itu emas. Terkadang itu benar namun di saat lain terkadang diam itu sungguh kurang berguna, mengapa saya berpendapat demikian? Pada saat Hari Kebangkitan Nasional kemarin seperti yang kita tahu, kita mendapat beberapa kabar yang menyedihkan, selain kita kehilangan beberapa tokoh nasional, kita juga kehilangan sebuah kepercayaan yang teramat sangat terhadap salah satu kelompok yang membela sebuah agama besar di Indonesia. Sungguh, ibu pertiwi terkejut dan pasti menangis melihat ini semua. Namun ada satu yang hingga detik ini saya tunggu, yaitu bicara. Mengapa bicara? Hingga saat ini presiden kita belum melakukan sebuah tradisi asli Indonesia yang sebenarnya sangatlah ampuh dan efektif yakni ‘bicara dari hati ke hati dengan diiringi dengan rasa respek yang dijunjung tinggi’ sekarang yang dilakukan petinggi kita terkesan hanya duduk berpangku tangan melihat semuanya dari kejauhan. Apakah itu pantas? Lalu apabila kelompok yang dianggap telah berbuat ‘kekerasan’ tersebut dibubarkan lantas urusan selesai? Tidak! Justru akan menambah sebuah masalah baru, sekarang mari kita melihat dari sisi ini, ‘apakah jika kita mengajak berbicara dua orang yang berseteru untuk duduk bersama mendinginkan pikiran lalu berbicara memecahkan masalah lewat musyawarah nantinya akan menambah masalah baru?’ Tidak bukan? Sekarang masalah tersebut sudah bukan hanya masalah kelompok, namun Negara. Jika saja petinggi kita melakukan dialog terbuka untuk menyelesaikan masalah apakah itu salah? Toh, ini juga masalah bangsanya. Bukannya saya tidak menganggap adanya angkatan darat, kepolisian atau apalah itu, namun saya melihat bangsa ini sudah sangat butuh sekali perhatian langsung dari seorang presiden dan sekaligus sebuah pembuktian bahwa presiden peduli dan dekat dengan rakyat yang telah memilihnya langsung. Dan di keadaan ini masalah ini sudah sangat fatal, baru saja umat islam dikejutkan oleh adanya video yang beredar di internet tentang ‘keburukan’ Islam, yang dimana kita sangat menyangkal itu semua (hingga youtube dan myspace diblokir) dan lalu sekonyong konyong membuktikan pernyataan dari film tersebut, bukankah itu fatal? Apakah salah jika presiden turun langsung menyelesaikannya? Lalu apa fungsi presiden di mata rakyat? Memberi perintah kepada kepolisian untuk menangkapi ‘tersangka’? Sungguh bukanlah jalan keluar yang bijaksana. Dan untuk itulah mengapa saya menulis artikel ini, agar kita dapat tahu betapa sangat ajaibnya sebuah kekuatan berbicara dari hati ke hati dan menggunakan rasa respek yang tinggi. Marilah mulai mencoba menyelesaikan semua persoalan dengan hati dan pikiran dingin lewat berbicara, karena tidak selamanya diam itu emas.
Respek! (dish)